Sunday, September 21, 2025
HomeBerita"Analisis Demagogi dan Narcisisme dalam Demokrasi"

“Analisis Demagogi dan Narcisisme dalam Demokrasi”

Demokrasi selalu dihubungkan dengan kata “mahal,” sebuah pernyataan yang diungkapkan oleh seorang koboi Will Rogers. Menurutnya, untuk terlibat dalam politik, baik menang maupun kalah, butuh biaya besar. Tetapi, pandangan tersebut justru berlawanan dengan keyakinan Francis Fukuyama yang menekankan kemenangan kapitalisme sebagai akhir dari sejarah. Dalam konteks demokrasi modern, politik menjadi semakin terkait dengan kapitalisme yang menghasilkan praktik politik transaksional, mahar politik, dan jual beli suara.

Karl Marx sendiri telah menolak dehumanisasi yang disebabkan oleh kekuatan kapitalis dan oligarki, yang menempatkan modal di atas segalanya, bahkan di atas hak-hak asasi manusia. Kemudian, Plato dan Aristoteles, filsuf besar, menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap sistem demokrasi. Mereka melihat demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang berbahaya dengan potensi penyalahgunaan kebenaran berdasarkan suara terbanyak.

Di Indonesia, demokrasi diwarnai dengan tagar “Darurat Demokrasi” sebagai respons terhadap upaya pengingkaran terhadap prinsip demokrasi oleh beberapa pihak. Perilaku demagog dan narsisme yang mengemuka dalam politik merusak substansi demokrasi itu sendiri. Hal ini tercermin dalam biaya politik yang tinggi, eksistensi elite politik yang narsis, dan pemimpin demagog yang menggerakkan masyarakat untuk meraih kekuasaan.

Untuk menyembuhkan penyakit demokrasi yang terjadi, diperlukan upaya keras untuk menanamkan etika politik yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, diharapkan kehadiran demagog dan narsisme dalam politik Indonesia dapat diminimalisir dan memberikan ruang bagi peradaban politik yang lebih baik. Semua itu demi mewujudkan tujuan cita-cita kemerdekaan bangsa, bukan hanya mengutamakan kepentingan pribadi.

BERITA TERKAIT

berita populer