Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Pada tulisan kali ini saya akan memulai dari sebuah pernyataan dari ilmuwan politik Ambrose Bierce, “Politik; perselisihan kepentingan yang menyamar sebagai konteks prinsip, tetapi penyelenggaraan urusan publik untuk kepentingan pribadi”. Padahal fungsi politik adalah bagaimana proses legislasi dilakukan untuk merumuskan regulasi yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Trust adalah motif utama bagaimana politik dilakukan melalui kontekstasi. Prinsip-prinsip dasar dalam politik adalah keberpihakan pada kepentingan umum (publik).
Dalam pengantar ilmu politik dari Profesor Meriam Budiardjo (ilmuwan politik), disebutkan bahwa politik itu adalah bukan hanya bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, tetapi lebih daripada itu politik adalah; (1) adalah seni (art), (2) politik adalah proses. (3) politik adalah proses tawar menawar (bargaining). (4) politik adalah budaya (culture). (5) politik adalah perilaku.
Berangkat dari poin kelima tersebut politik adalah perilaku; maka dapat disaksikan bagaimana perilaku politik saat ini yang terus menuai kontroversi dari pelanggaran kode etik di MK hingga pelanggaran kode etik di KPU atas proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres lalu.
Perilaku menghalalkan segala cara (Machiavellis) adalah perilaku politik yang tidak sehat bagi demokrasi. Hukum dikangkangi demi kepentingan politik tertentu. Demokrasi bukan tempat berlindung bagi perilaku politik yang kotor, atau melindungi orang-orang yang bersalah secara hukum. Dari sinilah perusakan demokrasi di mulai. Justru demokrasi diharapkan hadir untuk menciptakan penetrasi terhadap perilaku politik yang menyimpang.
Kita bisa benci pada partai politik, tidak suka dengan berbagai perilaku anggota-anggotanya, namun sayangnya hanya partai politik satu-satunya organisasi yang namanya dimuat di kertas suara kita. Tidak ada organisasi yang memiliki legitimasi formal mewakili aspirasi politik selain partai politik. Paradoksnya, di setiap survei opini publik, sentimen kepercayaan kepada partai politik selalu masuk daftar yang terendah. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tren ini merupakan sebuah fakta keras sejarah politik modern.
Relasi antara partai politik dan masyarakat menjadi semakin terputus. Yang tadinya keterputusan tersebut diharapkan untuk mendorong rasionalitas politik, namun ternyata malah berakibat depolitisasi akar rumput. Kemudian, fenomena ini dengan hormat disebut sebagai massa mengambang. DNA massa mengambang ini telah terpelihara dari masa ke masa dalam sejarah politik Indonesia. Setiap periode memiliki cara sendiri melakukan upaya “menyederhanakan” proses politik.
Presiden Sukarno ketika dalam sebuah situasi yang jumut pernah berkata, “marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!” Padahal, Bung Karno sendiri tidak dapat dipisahkan dari sejarah ide kepartaian di Indonesia. Pada 1927, Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang kemudian semakin menancapkan pengaruhnya lewat berbagai aktivitas politik.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1959, Bung Karno membentuk Front Nasional. Lembaga baru ini dibuat untuk memobilisasi langsung kekuatan akar rumput. Partai politik yang tadinya mencengkeram lewat bantuan perantara organisasi-organisasi masyarakat mengalami penurunan pengaruh. Front Nasional menjadi wadah bagi seluruh kekuatan massa yang punya akses terhadap akar rumput.
Sementara, partai politik diberikan kursi-kursi untuk duduk manis di barisan elite. Ketika Bung Karno pun berhasil melemahkan pengaruh partai; momentum tersebut diambil oleh kekuatan militer yang memiliki kaki sampai ke akar rumput. Mereka tidak lagi punya lawan tanding sepadan untuk merebut pengaruh rakyat. Bandul kekuatan politik pun mulai berubah arah. Pengaruh tentara dalam politik Indonesia modern semakin menguat pada masa akhir Orde Lama, seiring meningkatnya ketakutan terhadap partai politik.
Memasuki era Presiden Soeharto, pelemahan politik terjadi lebih kasat mata. Partai politik disederhanakan menjadi dua, ditambah satu golongan kekaryaan (Golkar). Hasilnya, pemenang pemilu selama Orde Baru bukanlah partai politik. Golkar dengan tulang punggung ABRI dan birokrasi berkuasa penuh selama puluhan tahun. Bagi Orde Baru, politik itu jahat, kotor, dan bising. Tugas rakyat adalah mendukung proses pembangunan.
Berpolitik bukan nature-nya rakyat. Doktrin-doktrin tersebut mematikan politik di akar rumput. Politik tidak lagi dipahami sebagai alat untuk mencapai cita-cita bersama. Sentimen massa mengambang pun semakin mengakar di akar rumput, seiring dengan melemahnya peran partai politik, yang kemudian menguntungkan Golkar sebagai kekuatan utama.
Memasuki Reformasi, gairah berpartai mulai terbuka lebar. Namun, gairah massa mengambang masih terasa akut. Rakyat dan politik masih seperti air dan minyak. Rasa kepemilikan terhadap partai politik masih sangat rendah. Ikatan pemilih terhadap organisasi-organisasi politik sangat lemah, namun fanatisme terhadap tokoh-tokoh menjadi semakin kuat.
Kita lihat saja sosok dua presiden Indonesia yang terpilih secara demokratis, bukanlah tokoh-tokoh yang tumbuh dalam sebuah mekanisme partai politik. Presiden SBY merupakan seorang militer, sementara Presiden Jokowi menjalani karier sebagai pengusaha yang kemudian menjadi kepala daerah. Mereka bukanlah elite-elite yang dari awal menjalankan roda organisasi partai politik.
Jelang Pemilu 2024, keberadaan massa mengambang tampak jelas dari tokoh-tokoh yang cenderung lebih diminati publik dalam hasil-hasil survei capres yang beredar. Selain nama Prabowo Subianto yang sudah tiga kali ikut kontestasi presiden, tidak ada nama ketua parpol di kelompok capres unggulan. Dalam diskusi adu perspektif yang diadakan oleh detik.com dan Total Politik (9/2), pihak-pihak partai politik tampak mengakui sedang berupaya keras menjual sosok pimpinannya yang menurut survei masih jauh di belakang capres unggulan.
PKB masih menaruh harapan pada Ketua Umum Muhaimin Iskandar, sementara Partai Demokrat berharap Agus Harimurti Yudhoyono dapat mencapai kursi yang sudah pernah diduduki oleh ayahnya. Tentunya, pekerjaan ini sangat tidak mudah. Namun ada lagi hal lain yang menjadi perhatian; Partai Nasdem harus berdamai dengan massa mengambang.
Partai besutan Surya Paloh tersebut membuka ruang untuk seluruh kandidat non-parpol yang ingin ikut berkontestasi di Pilpres 2024. Mereka tidak memiliki jagoan utama dari internal yang elektabilitasnya sangat terbatas.
Tugas partai politik adalah melahirkan pemimpin. Namun versi elite partai dan maunya rakyat kerap tidak bertemu. Ada partai yang suaranya jauh di atas keterpilihan ketua umumnya, namun ada juga keterpilihan ketua umum yang berada di atas perolehan suara partai.
Banyak yang mengatakan Pemilu 2024 akan didominasi oleh pemilih muda. Mungkin saja, karakter dan preferensinya akan berbeda dengan generasi sebelumnya. Namun yang pasti, demokrasi kita akan terus disandera oleh massa mengambang dari masa ke masa. Saat ini, pekerjaan rumah partai politik sangat berat. Pembangunan organisasi yang kuat harus menjadi agenda besar. Di tengah pragmatisme politik, publik semakin butuh ideologi.
Sehingga ujian terberat bagi partai politik saat ini adalah bagaimana men-drive kepentingan rakyat yang percaya dengan misi dan visi yang di tawarkannya. Tetapi faktanya, publik dapat membaca bahwa ada ketua-ketua partai yang hanya cari selamat untuk berlindung di jaring kekuasaan. Pendeknya mereka tersandera. Bahkan ada beberapa partai yang dulu punya ideologi dan kritis kini memilih menjadi bagian dari politik sandera karena hanya untuk membela kroni kekuasaan.
Politik sandera adalah sebuah fenomena “dukung mendukung” tanpa harus melihat aspek kapabilitas yang didukungnya, semua itu terjadi karena hanya untuk menyelamtkan diri atau paling tidak mencari perlindungan politik dari kasus-kasus hukum yang mereka punyai. Sehingga sprindik menjadi alat yang ampun untuk melemahkan ketua-ketua umum partai politik yang noatbene tersandera dengan kasus hukum.
Pelemahan partai politik karena politik sandera adalah salah satu ‘orchestra” yang dimainkan oleh Jokowi di masa lalu. Cara-cara ini adalah hanya untuk menitipkan Gibran pada posisi tawar dalam kontekstasi politik. Sekalipun harus menabrak konstitusi demi menyelamatkan Gibran. Fakta politik ini sesungguhnya begitu sulit untuk dibantah dengan melihat begitu secara kasat mata “piranti hukum “ di acak-acak demi memuluskan kepentingan politik.
Pesta Telah Usai
Prosesi politik telah usai, dan bahkan sang pemenang pun sudah dilantik secara seremonial. Tarik menarik untuk mengambil posisi dijajaran kabinet semakin terkuak dipermukaan. Partai pengusung dan pendukung saling bermanuver untuk mendapatkan “jatah kekuasaan” bahkan koalisi perubahan pun semakin membuka ruang untuk mendapatkan kue kekuasaan seperti PKS, Nasdem, dan PKB pun merapat ke koalisi gemuk yang dikomandoi oleh Gerindra.
Bukan tidak mungkin posisi Prabowo sebagai presiden terpilih dengan dukungan koalisi yang gemuk dalam posisi “tertekan” dalam artian untuk mengakomodir semua kepentingan koalisi dengan mempertimbangkan kapasitas kabinet yang ada. Sehingga untuk menjaga keretakan ditubuh koalisi (KIM) maua atau tidak mau Prabowo harus mengakomodir semuanya dengan cara menambah jumlah struktur kementerian—tanpa harus menggunakan hak prerogatif seorang presiden, sekalipun hak prerogatif itu adalah dijamin dalam konstitusi negara. Walau susunan kabinet saat ini masih didominasi dari kalangan partai politik.
Prabowo begitu paham situasi tuntutan koalisi dan kepentingan rakyat dipihak yang lain. Prabowo langkah pertama menuju 100 hari memberi ruang besar kepada menteri-menteri yang jumlahnya lebih dari 100 orang yang terdiri dari menteri, wamen, staf khusus, dan utusan khusus presiden.
Evaluasi 100 hari kerja adalah momentum bagi presiden untuk menggunakan hak prerogatif untuk merombak kabinet dengan beberapa alasan seperti ; anggaran negara, efesien dan efektifitas ala David Osborne dalam bukunya “Banaching Bereaucracy” atau memangkas birokrasi.
Dengan melihat 3 hari setelah pelantikan para menteri, publik dihebohkan dengan perilaku menteri ; seperti Natalius Pigai (Menteri HAM) yang meminta anggaran dari 65 M menjadi 20 Trilyun. Yandri Susanto (Menteri Desa) yang memakai kop surat kementerian untuk kepentingan pribadi (Haul orangtua) dan kampanye istri yang maju sebagai kontestan pilkada serentak. Profesor Yusril Ihza Mahendra yang secara mengejutkan bikin pernyataan kalau peristiwa 98 itu bukan pelanggaran berat HAM.Semua ini menjadi catatan penting bagi Prabowo untuk mengevaluasi menteri yang belum bekerja tetapi sudah bicara uang dan uang.
Karena itu, kabinet obesitas ini paling tidak sebagai gambaran bagi Prabowo untuk mengakomodir “kawan politik” tetapi bagi Prabowo kalau semua menteri tidak bekerja secara baik dan hanya mementingkan kelompok, keluarga dan kroninya, maka hak prerogatif seorang presiden menjadi jalan terbaik. Dan, pastinya kita menunggu tangan besi dari seorang jenderal dan patriotisme seperti Prabowo Subianto. (*)
Source link