Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Dalam beberapa dekade terakhir ini seiring dengan goncangan besar, menurut Francis Fukuyama, di mana umat manusia akan mengalami fase perkembangan sosial di dalam lingkungannya, termasuk situasi ekonomi, politik, sosial, lingkungan dan pertahanan negara.
Pertarungan kapitalisme yang dianggap puncak pencapaian ideologi dunia kinipun menuai kritik dari para pengagumnya. Keraguan akan bertahannya ideologi kapitalisme yang dipuja-puja oleh barat seakan menemui titik kulminasi apakah ia bergerak keatas ataukah ia harus jatuh.
Para pemikir kontemporer yang sedikit liberal berkecenderungan melihat agama dalam dimensi yang penuh keraguan, bahkan secara dramtis ia mengklaim bahwa agama itu adalah sebagai monster yang menakutkan.
Padahal ada relasi antara agama dan politik itu sangat dinamis, unik, menarik, sekaligus lucu. Keduanya kadang saling berseteru. Tapi, bisa pula berdampingan dengan mesra.
Pilkada gubernur Jakarta beberapa tahun yang lalu menjadi contoh konkrit bagaimana kekuatan agama menjadi magnet gerakan sosial yang berpengaruh. Gelombang massa yang disebut gerakan 212 adalah gerakan massa terbesar sepanjang sejarah politik dunia dengan menghadirkan massa sekitar tujuh juta orang, dan itu tanpa gaduh.
Dari situ kita bisa bercermin, bahwa stigma bahwa Islam itu teroris, fundamentalis, anarkhis, menjadi terkubur. Kondisi itu menghadirkan kekuatan Islam yang rahmtan lil alamin, walau secara terpaksa berhadapan dengan rezim yang despotik.
Sejarah mencatat, tokoh, komunitas, dan institusi keagamaan bisa berperan menjadi penjaga moral masyarakat serta pengkritik kekuasaan yang garang. Dan agama bisa menjadi sumber energi luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap rezim korup dan despotik.
Sejarah gerakan Gereja Katolik di Amerika Latin, Black Chruches di Amerika Serikat, Sufi Sanusiyah di Lybia, atau Tarekat Qadriyah-Naqsabandiyah di Banten, Indonesia, hanyalah sekelumit contoh sejarah dimana agama telah melakukan fungsi kritisnya sebagai medium kritik sosial sebuah masyarakat sekaligus sarana perubahan politik sebuah tatanan kekuasaan. Sehingga komunitas ini seringkali dijadikan ruang minta restu bagi kontestan politik yang ingin bertarung.
Penting untuk dicatat, bukan hanya agama yang melakukan perlawanan terhadap politik. Politik juga sering melawan, mengintimidasi, dan menghancurkan agama. Dengan kata lain, hubungan sekaligus nasib agama dan politik akan ditentukan oleh otoritas mana yang paling kuat dan dominan dari keduanya serta bagaimana watak dan karakter para elit politik dan elit agama yang kebetulan berkuasa.
Jika politik menjadi “superordinat”, maka agama akan berpotensi menjadi “subordinat”. Begitu pula sebaliknya. Sehingga keduanya sangat mungkin tarik-menarik untuk memperoleh kekuatan dibasis kekuasaan yang ada.
Agama, Jubah Demokrasi
Tetapi di sisi lain, agama juga bisa berfungsi sebagai “stempel” atau legitimator politik-kekuasaan sejak zaman “baheula” hingga dewasa ini. Di sejumlah negara, dewasa ini agama-politik banyak melakukan “perkawinan” dan menjalin hubungan “simbiosis mutualisme”: politik memberi jaminan proteksi keamanan masyarakat agama, sementara agama memberi “legitimasi teologis” untuk melanggengkan kekuasaan politik. dan fase itu seringkali berulang-ulang dalam arena politik.
Dalam konteks ini, secara teori, maka hubungan agama dan politik adalah sejajar (koordinat), bukan saling mendominasi dan menguasai tetapi saling melengkapi dan menguntungkan satu sama lain. Meskipun dalam prakteknya tentu saja tetap terjadi “perselingkuhan” di sana-sini di mana agama atau politik mencoba “main mata” dan “berselingkuh” dengan pihak lain di luar “komunitas agama” (misalnya kelompok adat, kaum pebisnis, sekuler-ateis, dan sebagainya) atau bahkan secara diam-diam saling menjegal dan mendelegitimasi otoritas masing-masing.
Agama yang selalu melihat pada proporsi moralitas kehidupan masyarakat, sementara politik melihat pada aspek regulasi yakni mengatur masyarakat dengan undang-undang.
Diktum-diktum keagamaan (ajaran, diskursus, teks, norma dan lain sebagainya) memang sangat lentur dan fleksibel sehingga mudah untuk diseret-seret kesana-kemari sesuai dengan kepentingan pemeluknya.
Kekuasaan mungkin iya, tetapi agama tak perlu diseret-seret untuk melegitimasi kekuasaan. Sebab ada fungsi agama yang sangat sentral dalam politik yakni sebagai pengontrol moralitas bagi pelaku politik dalam hal ini kekuasaan yang ada.
Fenomena Pilpres 2024 kemarin tidak menyudahi politik agama dan agama politik sebagai instrumen yang ampuh untuk meraih simpati kaum santri. Jubah-jubah politik yang dibungkus dalam “agama” menjadi trend—saling memperebutkan trah habaib dab santri di beberepa pondok pesantren dengan sodoran amplop.
Namun itu tidak berhenti sampai di situ—politik kekuasaan pada akhirnya memberikan IUP pengelolaan tambang kepada kelompok agama/Ormas yang menuai prokontra dikalangan masyarakat amaupun dikalangan Ormas itu sendiri—baik NU maupun Muhammadiyah. Ini adalah semacam “Political Trap” sebuah jebakan untuk memutus daya kritik kelompok-kelompok agama terhadap kekuasaan.
Legitimasi Sejarah
Dalam konteks sejarah Indonesia, terjadi perkembangan dinamis menyangkut relasi agama dan politik ini. Dulu pada masa kolonial, agama berperan ganda: sebagai legitimasi kolonialisme sekaligus kritik sosial. Banyak tokoh agama, Muslim khususnya, yang bekerja dengan pemerintah kolonial. Tetapi pada saat yang bersamaan juga banyak diantara mereka yang menjadi pengkritik dan pemberontak kolonial.
Pada zaman Orde Lama, Presiden Sukarno di satu sisi mengakomodasi tokoh-tokoh Muslim (khususnya dari Nahdlatul Ulama) tetapi pada waktu yang bersamaan melibas tokoh-tokoh Muslim lain (khususnya dari Masyumi) yang kontra dengan kekuasaanya. Penolakan itu didasari karena Masyumi adalah partai Islam yang berkesempatan melawan kekuatan komunis dan PNI sebagai basis nasionalisme.
Pada masa Orde Baru, Presiden Suharto tidak melirik kelompok Islam meskipun pada awalnya mereka digandeng untuk mengantarkan jalan kekuasaan. Pak Harto lebih tertarik menggandeng kelompok abangan-kejawen dan kalangan militer. Baru pada awal 1990-an, ia tertarik “melirik” Islam dengan menggaet kelompok kelas menengah teknokrat di bawah bendera ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) setelah terjadi friksi dengan sejumlah petinggi militer.
Pak Harto dulu juga tidak memberi ruang gerak secuilpun untuk perkembangan “Islam politik” meskipun mendukung gerakan “Islam kultural” yang apolitis. Setelah Pak Harto tumbang pada 1998, keran kebebasan berekspresi dan berserikat yang dulu ditutup rapat, kini pun dibuka kembali lebar-lebar. Akibatnya, Indonesia seperti kebanjiran kelompok-kelompok Islam ekstrim-konservatif.
Faksi Menggiring “Agama”
Mereka yang dulu bersembunyi karena ketakutan dengan politik otoriter-militer Pak Harto, kini bermunculan bak cendawan di musim hujan. Meski banyak sisi positif-konstruktif di era post-Suharto ini seperti tumbuh-berkembangnya demokrasi dan kebebasan sipil tetapi ada sejumlah sisi negatif-destruktif.
Merebaknya para “penumpang gelap” demokrasi seperti kelompok-kelompok Islam garis keras (Muslim hardliners) yang intoleran, anti-pluralisme, kontra-kebangsaan, mau menang sendiri, serta menggunakan berbagai tindakan dan cara kekerasan untuk memuluskan agenda dan kepentingan kelompoknya hanyalah sekelumit contoh dari sisi negatif-destruktif tadi.
Tetapi dengan jujur kita harus mengakui bahwa keberadaan kelompok muslim adalah satu kekuatan politik yang mulai dilirik oleh rezim saat itu sebagai kekuatan the moral forces.
Kelompok-kelompok ini tidak segan-segan untuk memobilisasi massa (dan bahkan Tuhan) dengan menggunakan sentimen-sentimen primordial agama dan etnisitas demi mencapai kepentingan politik-ekonomi pragmatis. Inilah yang saya maksud dengan “politik agama”, yakni “pemerkosaan agama” oleh sejumlah kelompok agama demi kepentingan politik praktis sektarian.
Dari sisi ini agama mengalami “pemakzulan” dari para penjual kepentingan kekuasaan. Ayat-ayat begitu murah dilisankan oleh para politisi untuk mencapai hasrat kekuasaannya. Ormas, hadir seakan peneriak paling mulia dijalanan untuk menghadirkan kebenaran, walau pada akhirnya ia pun berada di anti-klimaks.
Jika fenomena “politik agama” sektarian ini tidak “dikelola” dengan baik, arif, dan bijak maka potensi kekerasan komunal-horisontal bisa terjadi, dan spirit demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan susah-payah oleh kekuatan rakyat tahun 1998 bisa terkubur di kemudian hari. Sebab membangun demokrasi bukan dengan dentuman meriam, sarkasme yang kasar, intimidasi, tetapi membangun demokrasi haruslah dimulai dari basis ideologi agama, karena disitu ada akhlak dan moral yang menjadi patronnya.
Maka dengan demikian, agama bukanlah doktrin yang menghadirkan kekerasan dalam politik, tetapi agama adalah komitmen ketuhanan yang bersumber dari etimologi agama itu sendiri, yakni “A” yang berarti tidak, dan “Gama” berarti kacau, maka agama adalah ajaran yang tak menghadirkan kekacauan. Sekalipun isu terorisme menjadi sebab Islam diklaim sebagai agama kekerasan.
Tetapi yang lebih berbahaya dalam negara—adalah terorisme dalam bentuk korupsi yang kian merajalela. Tindakan makar politik yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi yang lain. Bahkan prilaku rezim yang mengutak-atik hukum dan undang-undang demi memenuhi hasrat kekuasaan dilingkaran dinasti politik. Bahkan herannya kelompok agama pun membenarkan praktek kekuasaan yang keliru itu dengan berbagai dalih dan dalil.
Dalih yang mengatasnamakan “agama” untuk membenarkan tindakan politik yang keliru, terkesan “menyudahi peran agama” dalam kehidupan bernegara. Sekte-sekte politik kiri yang identik nasionalis seringkali memanfaatkan momentum perkawinan politik—sementara sekte politik kanan yang identik kelompok agama cenderung menafsir lawan politik dengan memakai dalil-dalil agama untuk mengagitasi lawan politik.
Di sisi ini sesungguhnya melemahkan kelompok agama, sehingga acapkali dipandang sebagai kelompok ademokratis.
Fenomena ini terus berlanjut hingga saat ini—mesjid, gereja dan tempat ibadah lainnya begitu seksi untuk mendapat tuduhan sebagai pelecut lahirnya “politik identitas” atau politik aliran. Kewaspadaan akan muculnya politik identitas pada setiap event politik menjadi sebab utama “religion of power” akan bahaya agama dalam politik-demokratis.
Tetapi kita berharap agama, politik dan demokrasi adalah persandingan yang menarik bila kesemuanya mengambil peran sesuai tupoksinya masing-masing—tanpa harus mencederai yang lain. Tetapi praktek abuse of power saatnya dihentikan untuk mengembalikan marwah dan hakekat berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)