SMY (14) dan SR (17), pasangan pengantin di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), saat ini menjadi perhatian setelah video prosesi adat pernikahan mereka menjadi viral di media sosial. Keduanya diundang untuk memberikan klarifikasi oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Lombok Tengah terkait kasus pernikahan dini pada Selasa (27/5/2025).
Diketahui bahwa pengantin perempuan berusia 15 tahun masih bersekolah di tingkat SMP. Data dari UNICEF menunjukkan bahwa 650 juta anak di seluruh dunia menjadi korban pernikahan dini (di bawah usia 18 tahun), dengan 25,5 juta di antaranya berasal dari Indonesia.
Menurut laporan UNICEF, satu dari enam anak perempuan di Indonesia mengalami pernikahan dini. Mayoritas korban pernikahan dini di Indonesia adalah lulusan SD. Meskipun, batas usia minimal untuk menikah di Indonesia adalah 19 tahun. Di Sulawesi Barat, prevalensi pernikahan anak tertinggi mencapai 19,43%, sementara Jawa Barat memiliki jumlah perkawinan anak tertinggi sebanyak 273.300 perkawinan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi maraknya pernikahan anak di Indonesia. Pernikahan sebelum usia 18 tahun dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dan beberapa faktor risiko meliputi kemiskinan, persepsi bahwa pernikahan memberikan ‘perlindungan’, norma sosial, hukum adat atau agama yang membenarkan praktik tersebut, kerangka legislasi yang tidak memadai, dan sistem pencatatan sipil yang buruk di negara tertentu.
Dampak dari pernikahan anak termasuk komplikasi saat hamil dan melahirkan yang menjadi penyebab utama kematian perempuan usia 15-19 tahun, risiko kematian bayi yang lebih tinggi, dan rentannya anak perempuan yang menikah terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menunjukkan pentingnya perlindungan terhadap anak-anak dari praktek pernikahan dini.