Jakarta, CNBC Indonesia – Data terbaru mengungkapkan bahwa angka diagnosis kanker payudara baru pada perempuan Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik (AAPI) berusia muda meroket lebih cepat daripada kelompok ras dan etnis lainnya.
Melansir dari CNN International, pada 2021 lalu sebanyak sekitar 11 ribu perempuan AAPI didiagnosis menderita kanker payudara. Tak hanya itu, sekitar 1.500 orang di antaranya meninggal dunia.
Menurut data yang disesuaikan dengan usia dari National Institutes of Health (NIH), sekitar 55 dari setiap 100 ribu perempuan AAPI di bawah usia 50 tahun didiagnosis menderita kanker payudara pada 2021. Angka tersebut diklaim melampaui kasus pada perempuan ras kulit hitam dan Hispanik, serta setara dengan angka untuk perempuan dengan ras kulit putih.
Sepanjang tahun 2000 hingga 2021, angka kasus kanker payudara baru di antara perempuan AAPI di bawah usia 50 tahun tumbuh sekitar 52 persen. Secara rinci, kasus kanker payudara baru bagi kalangan perempuan AAPI berusia 50 hingga 64 tahun bertambah 33 persen dan 43 persen bagi yang berusia 65 tahun ke atas.
“Sebagai perbandingan, angka untuk perempuan dari semua usia, ras, dan etnis tumbuh sebesar tiga persen,” tulis laporan CNN International, dikutip Selasa (10/9/2024).
Dilaporkan, para peneliti telah mengamati dan mencari tahu alasan di balik peningkatan tren kanker payudara baru dalam kelompok yang beragam secara etnis ini. Sejauh ini, para ahli menduga akibat adanya perubahan budaya hingga gaya hidup yang penuh tekanan.
Direktur Program Kanker Payudara Klinis di UC Davis Health, Helen Chew mengatakan bahwa diaspora Asia Amerika begitu luas dan beragam sehingga penjelasan sederhana terkait alasan peningkatan kanker payudara tidaklah jelas.
“Ini tren yang nyata. Sulit untuk mengetahui dengan tepat mengapa demikian,” kata Chew.
“Apakah karena kita melihat masuknya orang-orang yang memiliki akses lebih sedikit ke perawatan? Apakah karena banyak hal secara budaya yang membuat mereka mungkin tidak ingin datang jika mereka melihat sesuatu di payudara mereka?” lanjutnya.
Menurut data sementara yang disesuaikan dengan usia dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), sebagian besar kelompok etnis dan ras mengalami penurunan tajam dalam tingkat kematian akibat kanker payudara. Sekitar 12 dari setiap 100 ribu perempuan AAPI dari segala usia meninggal akibat kanker payudara pada 2023, pada dasarnya serupa dengan tingkat kematian pada tahun 2000.
“Tingkat kematian akibat kanker payudara di antara semua wanita selama periode tersebut turun 30 persen,” tulis laporan CNN International.
CDC tidak merinci tingkat kematian akibat kanker payudara untuk banyak kelompok perempuan Asia-Amerika yang berbeda, seperti keturunan China atau Korea. Namun, CDC telah mulai membedakan antara perempuan Asia Amerika dan perempuan Kepulauan Pasifik.
Sepanjang 2018 hingga 2023, hampir 9.000 perempuan Asia-Amerika dilaporkan meninggal akibat kanker payudara, dibandingkan dengan sekitar 500 perempuan asli Hawaii dan Kepulauan Pasifik.
Namun, tingkat kematian akibat kanker payudara 116 persen lebih tinggi di antara perempuan asli Hawaii dan Kepulauan Pasifik daripada di antara perempuan Asia-Amerika selama periode tersebut.
Profesor dan ahli epidemiologi di Helen Diller Family Comprehensive Cancer Center, University of California-San Fransisco, Scarlett Gomez mengatakan bahwa belum ada penelitian yang cukup untuk mengetahui penyebab lonjakan kanker payudara baru-baru ini. Ia menyebut, jawabannya mungkin melibatkan beberapa faktor risiko dalam jangka waktu yang lama.
“Salah satu hipotesis yang kami eksplorasi di sana adalah peran stres,” kata Gomez.
“Kami mengajukan berbagai pertanyaan tentang berbagai sumber stres, berbagai gaya penanganan sepanjang hidup,” lanjutnya.
Ahli epidemiologi di Keck School of Medicine, University of Southern California, Veronica Setiawan mengatakan bahwa tren kanker payudara baru ini kemungkinan ada kaitannya dengan para imigran Asia yang mengadopsi beberapa gaya hidup. Akibat penerapan gaya hidup tersebut, mereka meningkatkan risiko terjangkit kanker payudara.
“Perempuan Asia dan perempuan Amerika menjadi lebih kebarat-baratan sehingga mereka mengalami pubertas lebih muda sekarang dan memiliki usia lebih awal pada [siklus menstruasi pertama] dikaitkan dengan peningkatan risiko,” kata Setiawan yang bekerja dengan Gomez dalam studi kanker.
“Melahirkan di kemudian hari, menunda memiliki anak, dan tidak menyusui, semua itu terkait dengan risiko kanker payudara,” lanjutnya.
(rns/rns)
Next Article
Heboh Kopi Tanpa Cafein Jadi Pemicu Kanker, Benarkah?