Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Sejak dahulu sampai sekarang, pesan dasar agama berkaitan moral-spiritual bersifat simpel, universal, dan tidak berubah. Kalau saja prinsip ini dijaga bersama, hubungan antarmanusia yang satu dengan lainnya baik antarpemeluk agama yang sama maupun dengan pemeluk agama yang berbeda akan berjalan lebih baik.
Konflik sosial hadir disebabkan perselisihan dalam menafsirkan dan melaksanakan prinsip keadilan ekonomi dan politik. Ketika politik meninggalkan pesan moral-spiritual, maka peradaban manusia akan terjatuh pada level kehidupan hewani.
Manusia sering kali lebih memanjakan tuntutan jiwa hewani sehingga naluri hewani yang mestinya dikendalikan akal sehat, justru terjadi sebaliknya. Dengan kecerdasannya, manusia bisa tergelincir menjadi sibuk melayani tuntutan naluri hewani yang hanya mengejar kepuasan pisik semata.
Kitab suci dalam hal ini Alquran menyebutkan bahwa dalam diri setiap orang terdapat dua sifat, yaitu sifat hayawaniyah dan insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan). Manusia, dalam sifat kebinatangannya, sama dengan hewan lain. Misalnya, ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh kenikmatan hidup.
Hewan tidak mengenal kebahagiaan, namun hanya mengenal kenikmatan. Jika Anda makan yang enak, Anda belum tentu merasa bahagia, tapi pasti merasakan kenikmatan. Kalau Anda seorang suami yang pergi merantau meninggalkan keluarga, anak dan istri dalam waktu yang cukup lama, ketika Anda pulang ke kampung halaman berjumpa dengan anak dan istri Anda akan mencium dan memeluk anak dan istri Anda.
Saat itu, Anda merasakan kebahagiaan bukan kenikmatan. Jadi yang membedakan kebahagiaan dan kenikmatan adalah kenikmatan itu sifatnya hayawaniah sedangkan kebahagiaan sifatnya insaniyah. Hanya saja dalam hal pemenuhan kenikmatan ragawi, hewan mengonsumsi sebatas kebutuhannya, sedang nafsu manusia tidak mengenal batas.
Agar manusia tidak terjebak hanya pada pemenuhan hasrat hewani semata, manusia juga dianugerahi daya ruhani bersifat spiritual. Kekuatan spiritual inilah yang mampu menghubungkan manusia dengan Tuhannya untuk mendapatkan pesan suci sebagaimana yang dialami para nabi.
Karena rohani bersifat fitri dan suci, dia selalu mengajak pada kesucian. Karena ruhani merupakan cahaya dari Tuhan Yang Mahabaik, Mahabenar, dan Mahaindah, rohani selalu mengajak pada kebaikan, kebenaran, dan keindahan.
Manusia memiliki dua dimensi kepribadian. Pertama, disebut dengan al-bu’dul malakut atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut. Bagian dari dalam diri manusia yang senantiasa mengajak ke arah kesucian, yang membawa manusia dekat dengan Tuhan.
Dimensi inilah yang mendorong seseorang untuk berbuat baik, menyebabkan kita tersentuh melihat penderitaan orang lain, mengajak kita memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan. Dengan kata lain, dimensi ini merupakan sisi kebaikan yang ada pada diri manusia.
Dimensi kedua, adalah dimensi kebinatangan disebut juga dengan al-bu’dul bahimi. Dimensi inilah menimbulkan rasa iri kepada orang lain yang meraih kesuksesan, susah melihat orang lain senang, dan senang melihat orang lain susah. Dimensi ini juga menggerakkan kita untuk marah dan dendam kepada sesama manusia, menimbulkan penderitaan kepada orang lain. Inilah sisi buruk yang ada dalam diri manusia.
Jika dimensi kemalaikatan membawa manusia dekat kepada Allah, dimensi kebinatangan membawa manusia dekat dengan setan. Sebenarnya setan tidak memiliki kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau manusia sendiri membuka sisi kebinatangan yang ada pada dirinya. Manusia yang disesatkan setan hanyalah hamba-hamba Allah yang membuka sisi kebinatangan yang disebut Al-Ghazali dengan istilah pintu gerbang setan Atau madakhil al-syaithan. Wallahu a’lam. (*)