Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Pemasangan alat peraga bakal calon kepala daerah tiada lain untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas.
Jadi wajar kiranya kalau saat ini kita menjumpai hampir setiap ruas jalan dihiasi gambar bakal calon kepala daerah. Kurang dari sebulan ke depan maka tanda gambar calon berubah menjadi pasangan calon setelah mereka mendaftar di Komisi Pemilihan Umum.
Banyak balon yang terlena dalam mengejar popularitas dengan mengabaikan kerja-kerja mencari partai pengusung. Di sisi lain partai politik cenderung pragmatis dalam mengusung pasangan calon.
Elektabilitas adalah alternatif yang dilihat dalam mengusung. Yang utama adalah calon tersebut menyanggupi persyaratan yang dibuat partai politik dan persyaratan tersebut macam-macam, mulai dari visi dan misi yang sejalan dengan visi parpol dan koalisi parpol pengusung.
Bagi balon yang memiliki sumber daya melimpah, akan berpikir praktis dan simpel dengan berusaha memboyong semua partai sehingga tidak ada yang tersisa dikendarai oleh figur lain.
Hal tersebut dilakukan karena balon bersangkutan elektabilitasnya rendah sehingga tidak percaya diri untuk bertarung dengan balon lainnya.
Sebagai satu-satunya peserta pilkada, maka yang bersangkutan akan berhadapan dengan kotak kosong. Tentu target untuk bisa jadi kepala daerah secara pintas tidaklah mudah, sebab pengalaman pilkada melawan kotak kosong tidak selalu berakhir dengan mulus.
Ada calon kepala daerah yang berhasil dikalahkan oleh kotak kosong. Pasalnya, balon yang tidak lolos sebagai peserta pilkada akan mengkampanyekan kotak kosong agar calon tunggal suaranya tidak mengungguli kotak kosong.
Melihat dinamika Pilkada Gubernur di Sulawesi Selatan, upaya untuk merangkul semua parpol telah ramai diberitakan oleh media. Namun, hasil akhirnya akan dibuktikan pada saat masa pendaftaran dibuka oleh KPU.
Wacana kotak kosong sebenarnya bukan hal yang baru. Pilkada serentak telah banyak diwarnai pertarungan calon tunggal dengan kotak kosong.
Yang patut dipertanyakan adalah suatu daerah yang ada kotak kosong membuat kita berpikir apakah memang di daerah bersangkutan kurang sumber daya dalam memimpin roda pemerintahan, sehingga tidak ada alternatif pemimpin yang ikut bertarung dalam kontestasi pilkada.
Lain hanya jika calon tunggal hadir karena kinerja dan sepak terjangnya sebagai balon memang diinginkan mayoritas masyarakat, dan parpol selaku pengusung memang pro aktif untuk mendukung calon bersangkutan bukan karena calon tersebut memang menghalangi calon lain.
Pemilihan kepala daerah serentak yang punya kuasa menghasilkan pemimpin lima tahun ke depan adalah rakyat pemegang hak pilih. Apapun hasil pilkada serentak nantinya itulah suara rakyat. (*)