Sunday, July 7, 2024
HomeGaya HidupCuti Melahirkan 6 Bulan Bisa Jadi Boomerang untuk Pekerja Wanita

Cuti Melahirkan 6 Bulan Bisa Jadi Boomerang untuk Pekerja Wanita




Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menandatangani Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, (2/7/2024). 

“Setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan: a. cuti melahirkan dengan ketentuan 1. paling singkat 3 (tiga) bulan pertama; dan 2. paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter,” demikian bunyi penggalan isi UU KIA.

Banyak masyarakat Indonesia menyambut gembira pengesahan UU tersebut karena artinya, sejak UU itu disahkan, maka ibu yang bekerja berhak menerima cuti melahirkan hingga 6 bulan. Meski demikian, aturan baru ini sebenarnya justru bisa merugikan perempuan. 

Cuti melahirkan pada dasarnya adalah hak bagi setiap pekerja wanita yang dijamin dalam UU. Meski begitu, pada praktiknya hak spesial ini kerap menjadikan pekerja perempuan sebagai sasaran diskriminasi di tempat kerja. 

Lebih dari itu, kebijakan yang hanya ditujukan untuk perempuan akan melanggengkan norma dan stereotip gender usang yang pada akhirnya menghambat kesetaraan di masyarakat.

Coba bayangkan skenario ketika ada dua kandidat yang melamar satu posisi di sebuah perusahaan yang sama. Kandidat pertama adalah seorang laki-laki yang sudah menikah dengan satu anak. Kandidat kedua adalah seorang perempuan, baru saja menikah. Jika dilihat dari CV, keduanya punya kapabilitas dan pengalaman yang sama. Kira-kira, kandidat mana yang akan dipilih perusahaan?

Secara hitung-hitungan, lebih untung bagi perusahaan untuk memilih kandidat pria. Sebab, dia tak akan hamil sehingga tak membutuhkan cuti melahirkan, yang pada kondisi tertentu, bisa berlangsung hingga 6 bulan. 

Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 menjelaskan bahwa hak cuti ayah ketika istrinya melahirkan adalah 2 hari dan dapat diberikan paling lama 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan. 

Bayangkan jika perusahaan memilih untuk merekrut kandidat perempuan. Dengan asumsi bahwa perempuan tersebut berencana punya anak segera setelah menikah, maka dalam waktu kurang dari satu tahun dia akan menjalani cuti melahirkan. Ini artinya, perusahaan akan kehilangan satu SDM dalam waktu yang cukup lama, sehingga mungkin perlu merekrut pengganti sementara. 

Apa solusi yang sama-sama menguntungkan?

Foto: AFP via Getty Images/JONATHAN NACKSTRAND
Two men take care of their babies at Humlegarden in Stockholm on September 24, 2020. – (Photo by Jonathan NACKSTRAND / AFP) (Photo by JONATHAN NACKSTRAND/AFP via Getty Images)

Indonesia perlu belajar dari negara-negara Nordik yang menjadi pioner dalam isu cuti melahirkan. Swedia, misalnya, memiliki kebijakan parental leave alias cuti orang tua selama 480 hari (sekitar 16 bulan) untuk setiap anak yang lahir. Jumlah hari cuti tersebut dapat dibagi rata oleh ibu atau ayah, artinya ibu mendapat cuti selama 240 hari dan ayah juga 240 hari.

Namun, masing-masing ibu dan ayah wajib mengambil cuti 90 hari yang diberikan khusus untuknya. Jika tak mengambil cuti wajib ini, jumlah hari cuti tidak bisa ditransfer ke pasangannya.

Sementara, orang tua tunggal berhak atas cuti 480 hari penuh. Jumlah cuti ini bisa digunakan hingga anak berusia 12 tahun. 

Kebijakan cuti seperti yang diterapkan di Swedia tidak hanya penting untuk memastikan bahwa anak mendapatkan perhatian dari kedua orang tua, tapi juga memberikan azas kesetaraan di pasar tenaga kerja. Ketika laki-laki dan perempuan diberikan hak cuti yang setara, tidak ada alasan bagi perusahaan untuk mendiskriminasi gender tertentu.

Dampak positif lainnya, perusahaan didorong untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih family-friendly serta mempromosikan work-life balance.

Lebih dari 80% perusahaan yang memberikan cuti orang tua merasakan dampak positif terhadap semangat kerja karyawan, dan lebih dari 70% melaporkan peningkatan produktivitas karyawan, menurut penelitian Ernst & Young.

Indonesia tentu tidak bisa langsung mentah-mentah menduplikasi kebijakan Swedia yang memberikan cuti berdurasi 480 hari. Namun, poin penting yang harusnya bisa kita pelajari dari Swedia adalah memberikan kesempatan yang setara sehingga meminimalisir potensi diskriminasi gender. 

Saksikan video di bawah ini:

Video: CEO The Body Shop Indonesia Blak-blakan Soal Bangkrut di AS



Next Article



Kesalahan Orang Tua yang Bikin Anak Susah Sukses, Hindari!



(hsy/hsy)

Source link

BERITA TERKAIT

berita populer