Hakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa pilpres 2024. Menurut Arief, pernyataan Joko Widodo alias Jokowi bahwa presiden boleh berkampanye tidak dapat diterima nalar sehat dan etika yang peka. Bahkan hakim MK Arief Hidayat dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi sebagai upaya menyuburkan politik dinasti dan nepotisme sempit.
Arief pun mengulas bagian kedelapan tentang Kampanye Pemilu oleh Presiden dan Wakil Presiden dan Pejabat Negara lainnya pada Pasal 299 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 300; dan Pasal 301 UU Pemilu. Berdasarkan penafsiran sistematis dan gramatikal terhadap pasal tersebut, telah secara jelas diatur bahwa hak presiden/wakil presiden untuk berkampanye digunakan pada saat pasangan calon presiden wakil presiden menjadi pasangan calon presiden wakil presiden dalam kontestasi pemilu. Hal ini tampak pada Pasal 301 UU Pemilu, yakni frasa ‘Yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden’.
“Oleh karena itu, apabila presiden/wakil presiden turut mengkampanyekan calon yang didukungnya, maka tindakan ini telah mencederai prinsip moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang seharusnya dijunjung tinggi, sebagaimana termuat di dalam TAP MPR Nomor V/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa,” bebernya.
Secara filosofis, Tap MPR itu lahir sebagai akibat adanya kemunduran dalam etika kehidupan berbangsa, sehingga menyebabkan krisis multidimensi. Untuk memulihkannya kembali, maka MPR kala itu membuat Rumusan Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa sebagai pedoman bagi pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, dalam rangka menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa.
“Kembali ke soal perselisihan hasil pemilu, sejak pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019 tak pernah ditemukan pemerintah turut campur dan cawe-cawe dalam pemilihan presiden\wakil presiden. Akan tetapi, pada pemilihan presiden/wakil presiden 2024, terjadi hiruk pikuk dan kegaduhan disebabkan secara terang-terangan Presiden dan aparaturnya bersikap tak netral bahkan mendukung pasangan calon presiden tertentu,” kata Arief.
“Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan,” ucap Arief.
Oleh karena itu, Arief menyatakan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil pemilihan Umum presiden/wakil presiden tahun 2024 ini, MK sudah sepatutnya tidak hanya sekadar berhukum melalui pendekatan yang formal legalistik dogmatis yang hanya menghasilkan rumusan hukum yang rigid, kaku, dan bersifat prosedural.
“Melainkan perlu berhukum secara informal nonlegalistik ekstensif yang menghasilkan rumusan hukum yang progresif, solutif, dan substantif tatkala melihat adanya pelanggaran terhadap asas-asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” Arief menandaskan.