Monday, September 23, 2024
HomePrabowoBRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS I GUSTI NGURAH RAI

BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS I GUSTI NGURAH RAI

Sikap dan tindakan Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai dan para pasukannya dalam pertempuran Puputan Margarana tahun 1946 telah menetapkan kriteria kepemimpinan teladan bagi generasi TNI selanjutnya: Memimpin dengan contoh, memimpin dari depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa. I Gusti Ngurah Rai memiliki semangat bertempur seperti seorang prajurit sejati dan lebih memilih mati daripada menyerah kepada musuh. Perang habis-habisan (tradisi puputan) yang dia pancarkan membangkitkan semangat bertempur pasukannya dan melawan Belanda hingga mencapai titik kelelahan. I Gusti Ngurah Rai bertempur di medan perang hingga napas terakhirnya.

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatifnya untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Dia meminta mandat kepada Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut sebagai Sunda Kecil.

Kemudian, dia kembali dan merekrut pasukan serta mulai melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda yang dipasang pada akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti-Fasis (GAF). Pada bulan September 1946, Belanda melakukan serangan. Dan pada 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan menyergap pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda telah mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika dia menyerah, dia beserta pasukannya akan diampuni. Tawaran tersebut datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali. JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai.

Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi pendidikan calon perwira Prajoda di Gianyar, Bali sebelum Jepang datang. I Gusti Ngurah Rai telah bergabung dengan Prajoda sebelum pecahnya Perang Pasifik.

Pada suatu waktu, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerang. Meski begitu, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran tersebut datang dari Konig, mantan atasannya. Untuk menjaga moral pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak membalas surat Konig. Jawaban I Gusti Ngurah Rai ditujukan langsung kepada atasannya Konig, Letnan Kolonel Belanda Termeulen, pada 18 Mei 1946.

“Merdeka. Kami menerima tawaran Anda. Kami dengan ini menyerahkan jawaban berikut: Keamanan Bali adalah tanggung jawab kami. Sejak pendaratan pasukan Anda, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda telah mengkhianati keinginan rakyat yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada bijaksana para pemimpin di Jawa. Bali bukanlah tempat untuk pembicaraan diplomatik. Dan saya tidak dalam posisi untuk mengalah. Atas nama rakyat Bali, saya hanya menginginkan hilangnya Belanda dari pulau Bali atau saya dapat menjanjikan Anda bahwa kami akan terus bertarung hingga tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih untuk tinggal di Bali, pulau ini akan menjadi pertempuran sengit antara pasukan Anda dan kami.”

Itulah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai. Demikianlah kesungguhan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi penjajah Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidaksetujuannya untuk berunding dalam pengabdian melawan penjajah. Dia menjawab tawaran Belanda untuk menyerah dengan seruan “Puputan, Puputan”, yang berarti habis-habisan. Oleh karena itu perang ini disebut sebagai pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang habis-habisan”. Pada 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (pada saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.

Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjatannya jauh lebih canggih dan bahkan didukung oleh pembom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Panglima Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan Pangdam saat ini), dan pasukannya terus bertempur tanpa henti.

Pertempuran dahsyat dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan yang ditembakkan dari pihak Indonesia di siang hari. Semua pasukan TRI dalam pertempuran telah tewas, termasuk Panglima Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai serta pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan menginspirasi bagi generasi TNI selanjutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa.

Source link

BERITA TERKAIT

berita populer