Tuesday, November 5, 2024
HomePrabowoOur Difficult Choices and Struggles

Our Difficult Choices and Struggles

Oleh: Prabowo Subianto, disadur dari “Strategi Transformasi Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045,” halaman 223-227, edisi softcover keempat.

Bagi saya, terlibat dalam politik berarti menerima pengorbanan—energi, waktu, dan emosi. Namun, tanpa terlibat dalam politik, tidak mungkin bagi saya untuk meningkatkan kehidupan banyak orang.

Saya yakin bahwa perbaikan substansial dalam kehidupan warga negara kita tidak dapat dicapai dengan sekadar keluh kesah dan kritik semata. Demikian pula, kita tidak dapat memperbaiki bangsa kita dengan sekadar membuat pengamatan dari pinggiran atau dengan melemparkan celaan tanpa tindakan.

Beberapa dari Anda yang membaca buku ini mungkin sudah terlibat dalam politik, atau setidaknya memahami dan peduli terhadap politik nasional kita. Beberapa mungkin tidak. Bagi mereka yang belum terlibat, saya mendorong Anda untuk merenungkan hal berikut.

Ada waktu dalam hidup kita ketika kita harus membuat pilihan yang sulit. Apakah kita akan berdiri dengan kebenaran, atau kita akan membiarkan kesalahan?

Apakah kita akan mempertahankan integritas dan kemerdekaan bangsa kita serta nilai-nilai yang kita junjung? Atau, apakah kita akan tunduk pada godaan uang, menjual nilai-nilai, diri kita sendiri, identitas, dan martabat kita?

Pilihan-pilihan seperti ini sangat sulit.

Pada tahun 1945, para pemimpin kita dihadapkan pada dilema serupa: menyatakan kemerdekaan atau menunggu diberikan oleh penjajah. Mereka yang mendorong untuk segera menyatakan kemerdekaan bersedia mengorbankan segalanya, termasuk nyawa mereka.

Pada malam 10 November 1945, rakyat dan pemimpin Surabaya dihadapkan pada pilihan sulit: menyerahkan senjata mereka kepada Inggris pada tanggal 9 November atau menghadapi serangan oleh kekuatan global pada saat itu.

Bayangkan dampak terhadap kebanggaan nasional kita jika para pemimpin dan warga Surabaya menyerah. Bagaimana jika Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan semua pemimpin Jawa Timur dan Surabaya tunduk pada tuntutan asing? Di mana martabat kita akan berdiri saat ini?

Krisis utama bangsa kita pada tahun 1965 juga menunjukkan pilihan yang jelas: mempertahankan Pancasila atau menyerah pada ideologi yang asing bagi bangsa kita, komunisme?

Demikian pula, selama era Reformasi pada tahun 1998, banyak pemimpin kita dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan sistem yang tidak demokratis atau dengan berani memperjuangkan reformasi dan demokrasi?

Selama 20 tahun perjalanan politik saya, saya terus-menerus menyampaikan pesan yang terdapat dalam buku ini. Selama perjalanan itu, banyak lawan telah berusaha untuk mencemarkan nama saya, menggambarkan saya sebagai pemarah dan cenderung kekerasan.

Namun, setelah puluhan tahun, saya telah membuktikan komitmen saya terhadap perdamaian. Sebagai mantan prajurit yang telah menyaksikan perang dan korban-korbannya, yang telah melihat rekan-rekan jatuh dan harus memberitahu keluarga mereka tentang kematiannya, saya selalu memilih jalur perdamaian. Fitnah yang dilemparkan kepada saya sama sekali tidak beralasan. Saya dituduh ingin menutup semua gereja di Indonesia, padahal sebagian dari keluarga saya adalah Kristen. Di antara mereka yang dekat dengan saya—pengawal, ajudan, dan sekretaris—beberapa adalah Kristen.

Sebagai mantan prajurit TNI, saya bersumpah untuk membela semua orang Indonesia, tanpa memandang suku, agama, atau ras. Saya telah mengorbankan nyawa saya, dan banyak bawahan dari latar belakang yang beragam telah gugur di bawah komando saya.

Bagaimana mungkin saya mengkhianati sumpah saya dan melupakan pengorbanan bawahan saya?

Saya juga dipandang sebagai anti-Tionghoa, meskipun saya selalu membela semua kelompok minoritas. Fitnah semacam itu adalah sisi gelap dari politik. Saya selalu mendorong teman-teman dan pendukung saya untuk tetap sabar dan tenang. Jangan menanggapi kebencian dengan kebencian, kejahatan dengan kejahatan, fitnah dengan fitnah. Meskipun kita tetap sabar, kita juga harus siap—secara mental, fisik, dan spiritual. Kepada mereka yang membaca buku ini, saya meminta Anda untuk merenungkan pendapat, sikap, dan respons Anda di malam yang sunyi.

Saya bertanya-tanya apakah kita akan bersama-sama mempertahankan kebenaran atau tunduk pada kesalahan, penipuan, ketidakadilan?

Dan dalam hari-hari mendatang, setelah refleksi Anda, saya mengundang Anda untuk mengambil langkah-langkah untuk menghadapi masa depan. Saya memilih untuk berjuang berdasarkan konstitusi. Saya menolak untuk tunduk pada keadaan yang tidak adil dan salah. Saya percaya bahwa apa yang sedang dialami Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh campur tangan asing. Beberapa negara ingin melihat Indonesia lemah, hancur, dan miskin.

Saya memiliki bukti kuat tentang keterlibatan mereka. Namun, kita harus tetap tenang. Kita perlu sabar dan percaya pada kekuatan kita sendiri.

Source link

BERITA TERKAIT

berita populer