Tulisan ini ditulis oleh Saifuddin.
Kata “aksara” seringkali terdengar dan sering kali dikaitkan dengan seseorang yang tidak bisa membaca atau menulis, yang kemudian disebut “buta aksara”. Namun sebenarnya, aksara tidak hanya terkait dengan kemampuan membaca dan menulis seseorang, tetapi juga mengandung makna atau simbol, identitas, lambang dalam berbagai bentuk seperti patung, huruf, lukisan, tulisan, atau prasasti. Aksara bukan hanya tentang huruf dan simbol, tetapi juga tentang komunikasi politik, penjelasan makna-makna dalam kehidupan berkebangsaan, dan penjelasan empat pilar berbangsa.
Tahta, di sisi lain, sering diasosiasikan dengan kekuasaan seseorang. Tahta juga mencerminkan posisi dan jabatan seseorang dalam suatu hierarki tertentu, seperti posisi raja atau kekuasaan. Hubungan antara aksara dan tahta dapat dilihat dalam konteks politik, dimana aksara digunakan sebagai narasi untuk mengkomunikasikan kekuasaan. Kekuatan bahasa (aksara) digunakan untuk membangkitkan emosi sosial publik dan mengomunikasikan ideologi politik.
Dalam konteks politik, aksara menjadi penting sebagai alat komunikasi politik, terutama dalam membangun identitas dan narasi politik. Contoh penggunaan aksara dalam komunikasi politik adalah melalui pemilihan nama calon atau pasangan calon yang menggunakan akronim atau kosa kata yang mudah diingat dan dikenali oleh pemilih. Aksara juga digunakan untuk memancarkan pesan politik dan emosi sosial, baik dalam bentuk pembangkitan dukungan maupun kritik terhadap kekuasaan yang ada.
Aksara juga dianggap sebagai sumber pengetahuan dan kekuatan dalam menjelaskan berbagai konsep politik dan sosial. Kekuatan aksara digunakan dalam komunikasi politik, baik melalui media massa maupun jalur komunikasi lainnya seperti orasi politik. Aksara digunakan untuk menjelaskan makna-makna dalam demokrasi, politik, hukum, ekonomi, dan lingkungan.
Namun, penggunaan aksara dalam komunikasi politik juga memiliki risiko. Bahasa politik yang tidak bijak atau provokatif dapat menimbulkan konflik dan kekacauan dalam masyarakat. Penting bagi pemimpin untuk menggunakan aksara dengan bijak dan cerdas, serta menghindari penggunaan bahasa yang menyebabkan kegaduhan atau ketegangan sosial.
Dalam konteks politik Indonesia, terjadi polarisasi dan konflik antar kelompok politik yang menggunakan aksara sebagai senjata untuk mencapai tujuan politik masing-masing. Penggunaan aksara yang tidak netral, provokatif, atau mengandung kebencian dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial suatu negara. Oleh karena itu, penting untuk melihat dan memahami hubungan antara aksara dan tahta dalam konteks politik yang lebih luas.