Dua hari menjelang pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, masyarakat Indonesia diminta untuk waspada terhadap potensi “serangan fajar” yang biasa terjadi menjelang hari pemungutan suara. “Serangan fajar” merujuk pada politik uang yang sering dilakukan oleh pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu, yang menyasar masyarakat menengah ke bawah.
Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “serangan fajar” adalah istilah yang merujuk pada politik uang. Di Indonesia, politik uang dianggap sebagai budaya yang lumrah. “Serangan fajar” tidak hanya berupa uang, tetapi juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, bensin, atau barang berharga lainnya.
Politisi sering menjadi pelaku “serangan fajar” dengan memberikan uang, paket sembako, atau barang keperluan rumah tangga kepada pemilih untuk “membeli” suara masyarakat agar memilih partai, kader, atau calon tertentu yang diusung memenangkan Pemilu. Bentuk “serangan fajar” telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Selain itu, barang-barang kampanye yang diizinkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sering dianggap sebagai “serangan fajar”, padahal termasuk dalam bahan kampanye yang diperbolehkan. Hal ini termasuk dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018. Pasal 30 ayat 2 dan 6 menjelaskan jenis bahan kampanye yang diizinkan serta batasan nilai uang yang boleh dikonversikan dalam bentuk barang kampanye.
Jadi, “serangan fajar” merupakan upaya politik uang yang diatur secara hukum dan harus diwaspadai oleh seluruh masyarakat menjelang pemilihan umum.