Penulis: Muhammad Ahsan Thamrin
“Salah dalam memilih pemimpin maka tunggulah kehancurannya.” (Nabi Muhammad SAW).
MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Pemilihan presiden kurang dari empat bulan lagi. Di antara kita mungkin sudah memiliki calon presiden dan wakil presiden yang akan dicoblos pada saat pemungutan suara nanti. Namun, tanpa bermaksud kampanye tentang siapa yang pantas untuk dipilih sebagai presiden, menurut hemat kami calon presiden Indonesia periode 2024-2029 yang layak untuk memimpin Indonesia yang besar ini adalah mereka yang memiliki kualifikasi sebagai cendekiawan, negarawan, dan nasionalis.
Sebagai cendekiawan, presiden tentu seorang yang memiliki visi jauh ke depan, memiliki daya nalar, dan daya analisis dalam mengambil keputusan. Kebiasaannya dalam membaca dan berpikir akan membuatnya untuk menghimpun informasi sebanyak-banyaknya sebelum mengambil keputusan mengenai kebijakan yang akan diambil. Dia tidak gampang mempercayai informasi atau masukan yang datang kepadanya sebelum melakukan telaahan lebih jauh. Hal ini membuatnya terhindar dari kesalahan dalam mengambil keputusan.
Selanjutnya seorang presiden seyogyanya memiliki jiwa negarawan. seorang negarawan jika dia berpikir dan bertindak selalu mengedepankan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Di Indonesia ada banyak paham, kelompok, dan kepentingan yang harus diakomodasi dan dilindungi dan hanya pemimpin yang berjiwa negarawan yang dapat melakukan itu.
Bangsa ini sudah pernah banyak melahirkan negarawan seperti Soekarno, Jenderal Sudirman, KH Hasyim Asy’ari, Mohammad Hatta, Syahrir, H. Agus Salim, M. Natsir, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan banyak lagi yang lain. Namun sayang, zaman semakin pelit melahirkan pemimpin negarawan seperti mereka.
Sekarang yang banyak politisi namun miskin negarawan. Banyak yang menjadi politisi dan menyusup ke tubuh partai hanya untuk mencari keteduhan ekonomi. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok, partai, atau golongan daripada kepentingan rakyat. Mereka memuja kemapanan dan kemakmuran sehingga membuat jiwa mereka tumpul dan tidak sensitif terhadap kehancuran hidup bangsa.
Dan, terakhir yang tak kalah penting, seorang presiden haruslah seorang nasionalis yang cinta kepada bangsa dan negaranya. Seorang patriotis.
Bahwa saat ini ada dua kelompok elit di Indonesia yang pertama mereka yang memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yaitu mereka yang ingin Indonesia mandiri dan menentukan nasibnya sendiri dan tidak ingin didikte oleh negara lain. Kedua, mereka yang pragmatis yaitu hanya mementingkan diri dan kelompoknya saja.
Kebanyakan mereka sekarang adalah para politisi. Mereka tidak mencintai negaranya karena prinsipnya negara bangsa telah berakhir yang ada adalah masyarakat global yang terbuka. Umumnya mereka ini adalah elite yang duduk di pemerintahan maupun korporasi yang telah mendapat pencucian otak melalui pendidikan barat (AS) lewat beasiswa.
Ketika mereka menjabat di pemerintahan yang mereka lakukan adalah mengobral aset dan menawarkan kekayaan alam untuk dimanfaatkan investor asing di manapun. Atas nama investasi untuk pertumbuhan ekonomi mereka mengemis kepada investor untuk berinvestasi di Indonesia. Mereka tidak peduli kalau semua investasi di sektor strategis semuanya dikerjakan asing. Pertumbuhan ekonomi memang bisa naik tapi banyak rakyat yang akhirnya menjadi korban. Investasi menggusur tanah rakyat miskin tapi tidak menggusur kemiskinan.
Sekarang kita butuh presiden nasionalis yang ingin Indonesia mandiri dan percaya kepada kemampuan anak bangsa untuk menjadi bangsa yang besar. Seorang pemimpin yang ingin menjadikan bangsa dan negaranya menjadi bangsa yang besar, kuat, dan berpengaruh dalam pergaulan bangsa-bangsa, sehingga kita tidak mudah diombang-ambingkan tekanan politik dan ekonomi oleh negara-negara besar. Indonesia adalah negeri yang sangat kaya, baik dari segi sumber daya alam, keragaman budaya dan sumber daya manusia yang menjadi modal untuk membangun Indonesia yang lebih maju, makmur, dan berkeadilan.
Kita merasa prihatin karena semakin sulit melahirkan pemimpin yang nasionalis, kalaupun ada yang muncul mereka selalu dihalang-halangi oleh oligarki yang mengendalikan banyak partai politik.
Memang seorang pemimpin nasionalis sangat tidak disukai oleh oligarki karena seorang nasionalis tidak bisa dikendalikan oleh oligarki yang kerjaannya menguras kekayaan alam untuk kepentingan mereka sendiri. Kaum elit, para borjuis-kapitalis, akan lebih bebas mengatur dan mengendalikan negara dengan suka cita ditangan pemimpin yang mau menjadi budak. Menjadi boneka yang gampang untuk dikendalikan. Wallahu’ala m (*)