Jakarta, CNBC Indonesia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengungkapkan bahwa resistensi antimikroba (AMR) tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga pada hewan melalui lingkungan dan mampu menular kepada manusia, Rabu (11/9/2024). Jika itu terjadi, maka produksi ternak dunia bisa terancam.
Resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit tidak lagi merespons obat antimikroba, sehingga meningkatkan risiko penyebaran penyakit atau penyakit parah.
Pejabat Senior Kesehatan Hewan FAO, Dr. Junxia Song mengungkapkan bahwa AMR tidak hanya mengancam kesehatan manusia dan hewan, tetapi juga mata pencaharian 1,3 miliar orang yang bergantung pada ternak. Bahkan, Bank Dunia turut memproyeksikan bahwa AMR mampu menurunkan produksi ternak di negara-negara berpendapatan rendah pada 2050 mendatang.
“Bank Dunia memproyeksikan bahwa dalam skenario dampak AMR yang tinggi, produksi ternak di negara-negara berpendapatan rendah dapat menurun hingga 11 persen pada 2050,” jelas Dr. Song.
“Akibatnya akan meningkatkan biaya bagi petani dan menaikkan harga pangan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Koordinator AMR Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Aitziber Echeverria memperingatkan bahwa resistensi obat tengah berkembang dan ditularkan di lingkungan. Ia mengatakan, saat ini perlu beberapa pendekatan One Health multisektoral untuk menanggulangi AMR, seperti mempertimbangkan kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan yang lebih luas sebagai tempat yang saling berhubungan dan bergantung.
“Sumber mikroorganisme terpenting dengan gen resistan antimikroba di lingkungan adalah limbah manusia yang berakhir di limbah, air limbah, atau tempat pembuangan sampah,” kata Echeverria.
Echeverria menjelaskan, setidaknya ada tiga alasan mengapa lingkungan harus difokuskan dalam penanganan AMR, yakni.
1. Dunia mikroba lingkungan adalah sumber materi genetik yang mengonfirmasi resistensi terhadap antimikroba dan Mesin yang mendasari transmisi genetik.
2. Berbagai tekanan antropogenik yang memperparah atau memperburuk masalah, seperti polusi
3. Air, udara, dan tanah berperan penting dalam penyebaran dan penularan AMR
“Ada semakin banyak bukti bahwa lingkungan memiliki peran penting dalam pengembangan, penyebaran, dan penularan AMR, termasuk munculnya resistensi lingkungan dan penularan antara manusia dan hewan ke manusia,” papar Echeverria.
Dalam kesempatan yang sama, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengusulkan empat langkah untuk mengatasi AMR, yakni mencegah infeksi dengan memastikan akses ke air bersih dan sanitasi, imunisasi, dan pengendalian pencegahan infeksi.
Kemudian, WHO juga mengusulkan akses universal ke diagnostik yang terjangkau, berkualitas, dan pengobatan infeksi yang tepat. Lalu, ilmu informasi strategis dan inovasi. Terakhir, tata kelola dan keuangan yang efektif.
Sebagai informasi, AMR adalah ancaman kesehatan masyarakat yang mendesak dan disebabkan oleh tidak adanya indikasi dalam penggunaan antimikroba, indikasi tidak tepat, pemilihan antimikroba tidak tepat, dan dosis tidak tepat.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) mengungkapkan, kematian akibat AMR mencapai 700 ribu orang per tahun dan diprediksi mampu mencapai 10 juta orang per tahun di seluruh dunia pada 2050.
“Bahaya AMR berkaitan erat dengan perilaku pencegahan dan pengobatan serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan “One Health” diperlukan untuk mengatasi kompleksitas pengendalian kejadian resistensi antimikroba,” tulis Kemenkes RI dalam keterangan resmi.
Dalam perkembangan kesehatan global saat ini, kejadian AMR disebut tak hanya dilihat sebagai masalah yang berdiri sendiri. Namun juga terkait dengan berbagai sektor, seperti kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan, rantai makanan, pertanian, dan sektor lingkungan.
(rns/rns)