MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Pengolahan informasi harus dikawal sesuai dengan norma dan aturan. Kualitas informasi dan penyajiannya harus diperhatikan baik akurasi dan kredibilitasnya. Apalagi saat ini media sosial dan media mainstream sudah hampir tak bisa dibedakan fungsinya.
Kesetaraan Regulasi penyiaran Berbasis Internet dan Konvensional menjadi tema Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Sabtu (21/9).
FGD itu menjadi langkah KPI untuk mendengar aspirasi masyarkat terkait dengan langkah yang mesti ditempuh KPI dalam mewujudkan penyiaran yang bermartabat terutama proteksi persebaran hoaks yang kerap terjadi pada dunia maya.
Dosen Pascasarjana STIE Amkop, Bahtiar mengatakan, batasan terhadap penyiaran harus diperhatikan dan juga diberlakukan untuk media sosial. Pasalnya, oknum pengguna media sosial kerap meyebarkan informasi yang tidak teruji. Sehingga penyebaran hoaks pun mulai terjadi.
Dampaknya, kata Bahtiar tentu saja merujuk pada efek ekonomi, kecenderungan, media mainstream kurang diminati infromasi yang disebarkan sebab mereka terkesan lamban dalam melakukan penyajian informasi karena harus melalui beberapa fase dan menaati rambu-rambu penyiran. Sementara media sosial tidak diikat dengan aturan dalam penyebaran informasi.
Sehingga, sambung dia, produktivitas media mainstream acap kali harus terjeda karena banyak rambu-rambu yang harus dilewati, dan itu menjadi keuntungan untuk media sosial. Sehingga penyetaraan dalam rambu-rambu penyebaran informasi harus diatur untuk setara.
”Akibat dari itu kan pasti ada ekonomi impact, pasti berbeda kan, ada industri atau media sosial lebih cepat dan media mainstream lebih lama,” ujarnya.
Penyetaraan dalam aturan penyajian informasi tentu harus diperhatikan antara media sosial dan media mainstream, agar keduanya bisa bejalan sesuai dengan porsi masing-masing.