MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Hasil sigi sejumlah lembaga survei yang memotret tingkat elektabilitas dan popularitas bakal calon gubernur Sulawesi Selatan belum menjadi dasar bagi partai politik dalam menentukan figur yang akan diusung.
Buktinya, Partai NasDem dan Partai Amanat Nasional yang telah menyetujui mendukung pasangan Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi belum juga mengeluarkan rekomendasi. Berbagai cara dilakukan lembaga survei dalam meng-endorse pasangan ini, namun tak juga membuahkan hasil. Dalam tiga kali survei, baik perseorangan maupun pasangan dengan Fatmawati, Sudirman Sulaiman menempati urutan teratas hasil sigi.
Salah satu lembaga survei yang intens memotret kans figur adalah Indeks Politica Indonesia (IPI). Sepanjang Februari hingga Juni tahun ini, lembaga ini sudah tiga kali merilis hasil sigi yang dilakukan.
Tak ada perubahan yang signifikan dalam hasil survei itu, kecuali keterpilihan Sudirman Sulaiman yang terus melejit dari survei pertama yang hanya 17 persen di awal Maret, 30 persen pada pertengahan April, dan survei ketiga naik sedikit menjadi 31,5 persen pada awal Juni, bulan ini.
Begitu pula para survei simulasi pasangan. dalam survei terakhir awal Juni lalu, keterpilihan Sudirman-Fatmawati telah menyentuh angka 49,7 persen, jauh meninggalkan pesaing-pesaingnya. Lantas, apakah endorse sigi ini mempengaruhi partai untuk segera mengeluarkan rekomendasi pada pasangan tersebut? Ternyata tidak.
NasDem dan PAN yang ‘curi start’ mendukung pasangan ini hingga saat ini masih bergeming. Partai-partai lain pun, demikian.
Wakil Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (OKK) NasDem Sulsel, Tobo Haeruddin mengatakan pasangan Sudirman-Fatmawati yang telah didukung, bisa saja berubah.
“Bukan hanya di Pilgub Sulsel, tetapi di semua daerah. Semua belum ada yang pasti. Semua bisa dipastikan saat mendaftar di KPU,” ujar Tobo, Kamis (20/6/2024).
Tobo mengatakan, di dunia politik, tidak ada yang pasti sehingga semua peluang masih bisa terjadi. Setiap detik dan setiap saat, kat dia, semua bisa berubah tergantung kepentingan partai dan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.
“Ya seperti itu (pasangan Sudirman-Fatmawati) belum ada keputusan. Walaupun ada keputusan dari DPP tapi pasangan belum daftar ke KPU, belum bisa dikatakan pasti juga karena semua bisa berubah,” ujar dia.
Ketua Partai Demokrat Sulsel, Ni’matullah juga masih menimbang sejumlah figur yang potensial maju di Pilgub Sulsel. Apalagi, kata dia, beberapa figur telah mendaftar untuk memperebutkan rekomendasi seperti Danny Pomanto, Ilham Arif Sirajuddin, Andi Muhammad Bausawa Mappanyukki, Sudirman Sulaiman, dan Adnan Purichta Ichsan.
“Semua figur itu punya peluang diusung. Tapi, beberapa belum mengembalikan formulir pendaftaran,” imbuh Ni’matullah.
Bagi Demokrat, kata Ni’matullah, belum ada hasil survei yang bisa menggerakkan untuk segera mengambil keputusan. Alasannya, sambung dia, sosok yang muncul dalam survei adalah mereka yang sudah lama melakukan sosialisasi.
“Kita akan melihat berapa banyak partai yang bisa dia dapat. Itu soal juga. Ini bukan sekadar survei. Meski survei bagus kalau tidak ada tiket, kan, tidak bisa maju,” ujar Ni’matullah.
Dia berharap, Ketua Gerindra Sulsel, Andi Iwan Darmawan Aras bisa maju di Pilgub Sulsel. Dengan begitu, kata Ni’matullah, Koalisi Indonesia Maju saat pemilihan presiden lalu, bisa terwujud di Pilgub Sulsel.
“Kalau Iwan Aras maju, di atas 50 persen, Demokrat bersama Gerindra. Ada kecenderungan bagi kami kalau untuk Pilgub, koalisi nasional itu diharapkan bersambung ke daerah,” beber dia.
Selain tergabung dalam Koalisi Nasional, diungkapkan Ni’matullah, alasan lain mendukung Iwan Aras, karena memiliki rekam jejak yang bagus.
“Iwan Aras berpengalaman di Komisi V DPR RI. Dia juga tokoh muda dan paling penting sebagai ketua Gerindra Sulsel. Saya kira itu menjadi pertimbangan bagi kami untuk mendukungnya,” kata Ni’matullah.
Bagi Ni’matullah, meskipun survei Iwan Aras masih sangat rendah, hal itu bukan persoalan serius. Apalagi, kata dia, Iwan Aras belum menyatakan secara terbuka ke publik mengenai keinginannya maju di Pilgub Sulsel, meskipun alat peraga kampanye sudah terpasang.
“Dia belum sosialisasi masif dan belum menyatakan secara terbuka untuk maju. Bagaimana namanya boisa terekam dalam survei?Figur yang itu bagus surveinya karena menyatakan siap maju dan sosialisasi lebih awal. Pasti terpantau survei,” ucap dia.
“Kalau pun Iwan Aras tidak maju, kami terbuka pada opsi lain,” sambung dia.
Sementara, Ketua Bidang Kehormatan PDIP Sulsel, Andi Ansyari Mangkona menegaskan, partainya tetap memprioritaskan kader untuk diusung di Pilgub Sulsel pada 27 November nanti, meski tetap menjaring figur eksternal.
“Semua partai memprioritaskan kader, cuma kami masih terbuka karena namanya pencalonan itu tidak boleh menutup kesempatan kepada yang lain,” ujar Ansyari.
Ansyari mengatakan, kader PDI Perjuangan yang sudah mendaftar dan mengembalikan formulir sebagai bakal calon gubernur Sulsel, hanya Wali Kota Makassar Danny Pomanto. Adapun, figur eksternal yang mengambil formulir adalah mantan Gubernur Sulsel Sudirman Sulaiman, namun belum dikembalikan. Sedangkan, figur lain yang mengkonfirmasi akan mendaftar yakni mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan.
Ansyari menyebut, nama-nama yang mendaftar untuk calon gubernur akan dikirim ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Di sana, kata dia, figur tersebut akan menjalani uji kelayakan dan uji kepatutan. “Setelah itu PDI Perjuangan menurunkan survei untuk menentukan usungan,” beber dia.
Direktur Eksekutif PT Indeks Politica Indonesia (IPI), Suwadi Idris Amir mengatakan meski survei pasangan Sudirman-Fatmawati unggul beberapa kali, namun sampai saat ini pasangan tersebut belum melakukan deklarasi.
“Mungkin Sudirman harus meraba-raba dan melihat siapa yang menjadi lawannya dan harus melihat berapa pasangan yang akan dilawan,” kata dia.
Dia mengatakan, Amran Sulaiman tidak akan gegabah meminta adiknya Sudirman untuk deklarasi sebelum ada pergerakan dari NasDem dan Golkar.
“NasDem dan Golkar ini partai besar dan tidak mungkin Amran menyuruh adiknya deklarasi sebelum partai ini besar ini menentukan sikapnya secara nasional. Pilgub ini tidak boleh memandang remeh lawan. Saya melihat Sudirman-Fatmawati lebih melihat pergerakan lawan sebelum melakukan deklarasi,” imbuh dia.
Suwadi pun menilai, pasangan ini belum tentu paten 100 persen meski hasil survei terbilang tinggi. Dia beralasan, ada ruang-ruang komunikasi nasional yang memaksa perubahan sikap terhadap pasangan Sudirman-Fatmawati.
“Tapi bukan berarti NasDem meninggalkan Sudirman. Ada kemungkinan Fatmawati lari ke Makassar dan NasDem menyuruh Sudirman menentukan wakilnya, situasi itu masih memungkinkan,” ujar dia.
Sementara itu, Direktur Politik Profetik Institute, Asratillah melihat pasangan Sudirman-Fatmawati tidak melakukan deklarasi karena belum adanya rekomendasi dari DPP NasDem. “Posisi Sudirman-Fatma ini seperti menggantung dan menunggu kepastian NasDem,” ujar dia.
Mengenai survei Sudirman yang tertinggi, dinilai Asratillah wajar, karena pernah menjadi gubernur meski hanya setengah periode.
Menurut dia, rentang waktu beberapa bulan ke depan masih terbuka peluang bagi figur lainnya untuk mengejar sebelum ada yang mendapatkan rekomendasi final.
Walau survei Andi Sudirman-Fatma unggul saat ini, kata Asratillah itu hanya memotret masa sekarang dan tidak bisa memprediksi secara pasti kondisi yang akan datang. “Akan ada situasi-situasi yang biasa mengejutkan dalam politik,” timpal Asratillah.
Adanya kecenderungan hasil lembaga survei ini dikesampingkan partai politik membuat publik bertanya, apakah hasil survei itu hanya sebatas untuk mendongkrak elektabilitas person calon saja. Menyikapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto mengatakan, setiap hasil survei yang dipublikasikan tetap diperhatikan oleh partai politik. Namun, tidak untuk dijadikan rujukan, terlebih partai politik biasanya memiliki survei internal yang nantinya dijadikan dasar dalam mengusung jagoannya.
“Jadi memang kalau kita lihat yang dirilis di media itu (hasil survei) memang ada juga lembaga survei yang mengkhususkan diri untuk merilis hasilnya di media. Tapi, biasanya partai-partai politik itu tidak merilis hasil surveinya, karena hanya dipakai untuk kepentingan internal dan bukan kepentingan untuk menggiring opini publik,” ujar Andi Ali.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas Makassar itu menjelaskan, dalam survei yang dilakukan lembaga survei dan lembaga survei internal partai, elektabilitas para figur memang tidak begitu jauh berbeda. Namun, secara hitung-hitungan hasil lembaga survei partai, elektabilitas para figur tersebut tidak ada yang menembus angka prospektif.
Atas dasar itulah, kata Ali Armunanto, kecenderungan partai politik menunda untuk memberi atau mengumumkan calon yang mereka usung. “Ini yang membuat partai lebih memilih untuk menunda mengumumkan atau memberikan rekomendasi kepada kandidat tertentu. Karena masih menunggu pergerakan referensi pemilih, karena partai tidak mau berjudi, sudah diumumkan dari awal tiba-tiba ada yang menyalip elektabilitasnya dan segala macam,” kata dia.
Di sisi lain, pada Pilgub Sulsel 2024 ini sejumlah figur yang digadang-gadang bakal maju juga dinilai belum begitu matang secara elektabilitas, berbeda dengan Pilgub Sulsel 2018 lalu. Semua figur dinilai masih dalam posisi yang sama, termasuk Sudirman Sulaiman, mengingat saat maju dalam Pilgub sebelumnya posisinya hanya wakil mendampingi Profesor Nurdin Abdullah, yang elektabilitasnya cukup tinggi, kala itu.
“Mereka ini masih berjuang menembus elektabilitas. Ada beberapa faktor yang kemudian melahirkan sentimen negatif terhadap pemilih. Ada yang terus disorot oleh media yang tadinya elektabilitasnya biasa-biasa saja tiba-tiba beranjak naik, seperti Iwan Aras, Danny Pomanto, dan ada juga yang seperti stagnan, seperti Sudirman Sulaiman,” kata dia.
“Jadi memang pergerakan itu yang menunggu prospek. Kemudian simulasi-simulasi pemasangan calon yang saya rasa sengaja dihembuskan calon untuk mendapatkan komposisi yang pas untuk memanaskan mesin politik. Makanya sekarang itu lagi ramai isu pemasangan seperti Danny Pomanto-Indah, Danny Pomanto-Adnan lalu Sudirman-Fatma, lalu belakang muncul Sudirman-Adnan dan seterusnya,” sambung Andi Ali.
Sisi lain, menurut dia, pergerakan politik di nasional pasca Pemilu 2024 juga termasuk salah satu pengaruh besar partai politik belum mengambil sikap menentukan usungannya. Menurut dia, parti politik tidak hanya memperhatikan elektoral atau elektabilitas para figur tapi juga mengamati pergerakan dan perkembangan politik nasional.
“Sisi lain juga aliansi yang terbentuk di kalangan elit belum terkonsolidasi dengan baik dan akhirnya partai menunda, karena pergerakan elit di pusat juga dari peralihan Jokowi ke Prabowo masih dinamis, masih ada perubahan relasi antar elit. Pergerakan elit ini turut diperhatikan karena akan back up pergerakan mereka nantinya,” sebut dia.
Terakhir, Ali Armunanto mengungkapkan, dalam beberapa hasil survei partai politik yang dia baca dan tidak dipublikasikan, persaingan ketat antar figur utamanya dalam elektabilitas sangatlah tipis, hanya selisih dua hingga lima persen antara figur-figur yang disurvei. Meskipun ada yang unggul, itu maksimal lima persen.
“Dan paling mengkhawatirkan itu di angka tidak tahu dan tidak jawab masih terlalu besar karena di atas 30 persen, bahkan ada 40 persen. Artinya referensi publik belum terbentuk dan ini yang ditakutkan parti politik. Artinya angka 30 persen itu akan mentah dalam menentukan pilihan. Jadi mereka harus hati-hati karena aspek yang dilihat dari hasil survei itu banyak sekali, bukan hanya persoalan siapa menang di situ, tapi pemetaan pemilih, pemetaan karakteristik pemilih, pemetaan isu juga dipantau dalam survei dan ini yang dipantau terus partai politik,” tukas Andi Ali. (fahrullah-suryadi-isak pasa’buan/C)