Populasi keturunan China di dunia mencapai angka yang sangat besar, dengan sekitar 1,4 miliar dari hampir 8 miliar penduduk bumi merupakan warga negara atau keturunan China. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara asalnya, tetapi juga di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, di mana banyak warga peranakan Tionghoa tinggal. Sejarah panjang tradisi migrasi dan perantauan etnis Tionghoa tidak terlepas dari peran Jalur Sutra yang telah ada sejak tahun 130 SM. Jalur ini tidak hanya digunakan untuk kegiatan perdagangan antara China dengan Timur Tengah dan Eropa, tetapi juga sebagai tempat bermukim bagi pedagang Tionghoa yang berinteraksi dengan masyarakat lokal, membentuk komunitas-komunitas keturunan Tionghoa di seluruh dunia.
Sejarawan China, Zhuang Guotu, mencatat bahwa terdapat dua gelombang migrasi besar dalam sejarah modern yang menyebabkan diaspora Tionghoa semakin meluas. Pertama terjadi pada abad ke-16 ketika Eropa melakukan ekspansi kolonialisme dan membutuhkan tenaga kerja sehingga banyak orang Tionghoa yang diundang ke beberapa wilayah jajahan termasuk Batavia di bawah VOC. Gelombang migrasi besar kedua terjadi pada pertengahan abad ke-19 setelah penghapusan sistem perbudakan di banyak negara Barat dan keadaan politik internal China yang tidak stabil mendorong masyarakatnya untuk mencari kehidupan baru di luar negeri.
Perpindahan besar-besaran ini membentuk komunitas-komunitas Tionghoa di berbagai negara, dengan kawasan pecinan yang kini lazim ditemui di berbagai kota besar dunia menjadi bukti nyata dari mobilitas dan adaptasi masyarakat Tionghoa yang luar biasa. Dengan sejarah panjang mereka dalam perdagangan global, etnis Tionghoa tetap memiliki pengaruh yang kuat di sektor ekonomi dan budaya di seluruh dunia.