Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Rabu lalu mengumumkan penerapan tarif global baru. AS akan menerapkan pungutan sebesar 10% minimum atas barang-barang yang diimpor dari berbagai negara sebagai upaya untuk memperkuat ekonomi AS dan menghadapi praktik perdagangan yang dianggap tidak adil. Namun, klaim Trump ini dibantah oleh ekonom senior Dean Baker, yang menyatakan bahwa AS sebenarnya tidak pernah menghentikan kebijakan tarif sebelum Depresi Besar. Meskipun pada tahun 1930 DPR AS mengesahkan Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley dengan tujuan mengakhiri Depresi Besar, namun undang-undang tersebut justru memperburuk keadaan dengan perang dagang yang terjadi karena respons dari negara lain.
Undang-undang tersebut menaikkan tarif dan mengakibatkan perdagangan internasional membeku, memperparah Depresi serta meningkatkan harga barang-barang penting. Ahli ekonomi sepakat bahwa Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley pada tahun 1930 memburuk Depresi Besar dengan ekonomi AS yang saat ini dianggap dalam posisi yang lebih baik dibandingkan 100 tahun yang lalu. Tetapi, kebijakan tarif Trump di masa kini mengancam pertumbuhan di masa depan dan meningkatkan risiko resesi.
Lebih lanjut, Baker menjelaskan bahwa tarif bisa menyebabkan resesi dengan cara berfungsi seperti pajak tambahan bagi konsumen. Dampak tarif ini akan membuat konsumen memiliki sedikit uang untuk dibelanjakan, dan bisnis juga bisa menarik kembali investasi mereka karena ketidakpastian dampak tarif. Selain itu, kebijakan ini kemungkinan tidak akan banyak memberikan keuntungan bagi banyak perusahaan, dengan hanya segelintir perusahaan yang mungkin mendapat keuntungan. Hal ini juga berpotensi membuat pengeluaran barang mahal melambat karena banyak masyarakat akan menunda pembelian untuk menghindari tarif.