Di era digital, semakin banyak portal berita yang bisa diakses oleh siapa pun. Namun, kenyataan ini membawa dampak negatif dengan munculnya “jurnalis instan”. Mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik bisa dengan mudah menjadi wartawan dengan membuat website dan melakukan copy-paste berita dari sumber lain.
Kelompok ini, seringkali tanpa pengalaman sebelumnya dalam dunia jurnalistik, terjun ke profesi ini dengan motivasi yang kurang murni. Mereka seringkali menggunakan media sebagai alat untuk mendorong kepentingan pribadi, termasuk mendapatkan proyek dari pemerintah atau pejabat tertentu.
Ketika permintaan mereka tidak terpenuhi, mereka cenderung membuat berita negatif yang bias dan tendensius. Fenomena ini tidak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga merusak citra dari profesi jurnalis sebagai whole.
Profesi jurnalis sejati memiliki standar yang tinggi, membutuhkan kompetensi, integritas, dan ketaatan pada Kode Etik Jurnalistik. Seorang jurnalis yang baik harus memahami proses produksi berita, gaya penulisan yang sesuai dengan media tempat mereka bekerja, prinsip etika dan hukum, independensi, dan prinsip-prinsip dasar jurnalistik lainnya.
Kehadiran jurnalis instan yang hanya melakukan copy-paste tanpa melakukan riset yang baik merugikan profesi jurnalis secara keseluruhan. Masyarakat harus menjadi lebih kritis dalam mengkonsumsi berita dan mendukung jurnalisme yang berfokus pada kebenaran, integritas, dan kepentingan publik.
Dewan Pers dan stakeholder terkait perlu memberikan sanksi kepada media atau individu yang tidak menjalankan profesinya dengan baik, termasuk jika memuat berita fitnah atau yang mengandung kebencian. Ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga integritas dan keberlanjutan profesi jurnalis agar tetap menjadi pilar keempat demokrasi yang kuat.