Penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu sedang dalam pembahasan untuk diubah menjadi badan ad hoc oleh DPR RI. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa tugas mereka hanya signifikan saat pemilu berlangsung. Beberapa pihak merasa bahwa KPU dan Bawaslu efektif hanya selama dua tahun atau saat pemilu dilakukan, sedangkan tiga tahun sisanya dianggap memakan anggaran dengan agenda bimbingan teknis. Meski demikian, ada yang berpendapat bahwa KPU dirancang untuk independen dan tidak dipengaruhi oleh politik jangka pendek, sehingga dapat menjaga kualitas dan kontinuitas penyelenggaraan pemilu.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Rizal Fauzi, menyatakan bahwa pembentukan lembaga negara harus mempertimbangkan syarat-syarat tertentu, terutama terkait beban kerja dan tugas-tugasnya. Jika KPU dan Bawaslu diubah menjadi lembaga ad hoc, evaluasi terhadap efektivitas kerja lembaga harus dilakukan dengan cermat. Ada juga pandangan bahwa pendidikan politik dan data pemilih dapat ditangani oleh lembaga lain seperti Kesbangpol, sehingga tidak perlu dilakukan oleh KPU.
Meskipun terdapat suara yang menginginkan KPU dan Bawaslu tetap menjadi lembaga permanen untuk menjaga independensi dan integritas pemilu, ada juga pendapat bahwa lembaga ad hoc bisa efektif tergantung pada regulasi dan implementasinya. Namun, penting untuk memperhitungkan beban kerja dan efisiensi biaya dari KPU dan Bawaslu agar tidak mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemilu.
Selain itu, perlu diatur dengan jelas jika KPU dan Bawaslu dijadikan lembaga ad hoc, agar tidak rentan terhadap intervensi politik. Meski wacana ini dapat menghemat anggaran negara, dua lembaga ini tetap diperlukan dalam penyelenggaraan pemilu. Keputusan akhir terkait status lembaga ini tetap bergantung pada pusat antara pemerintah dan pimpinan KPU RI serta Bawaslu. Semua keputusan harus dibahas bersama-sama dan dipertimbangkan dengan seksama untuk kebaikan demokrasi di Indonesia.