Sebelum diumumkan secara resmi oleh pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan rencana penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen pada pekan depan. Prediksi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebutkan bahwa kenaikan tarif PPN tersebut berpotensi menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp 65,3 triliun dan mengurangi konsumsi rumah tangga sebesar Rp 40,68 triliun.
PDB memiliki peran penting dalam menentukan kekayaan suatu negara, di mana angka PDB biasanya mencerminkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu. Pendekatan pengukuran PDB meliputi pendekatan pengeluaran, pendapatan, dan nilai tambah. Namun, kenaikan tarif PPN dapat memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama terkait dengan penurunan konsumsi rumah tangga, peningkatan biaya produksi, dan penurunan daya saing barang domestik di pasar internasional.
Selain merugikan bagi konsumen dan produsen, kenaikan PPN juga berpotensi menyebabkan inflasi yang tinggi dan penurunan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Ekonom INDEF, Ahmad, hal ini akan berdampak pada kinerja keuangan perusahaan, penyerapan tenaga kerja, dan akhirnya memperlambat pemulihan ekonomi. Sebagai alternatif, Celios merekomendasikan pemerintah untuk mempertimbangkan sumber penerimaan negara lain yang tidak memberatkan masyarakat, seperti pajak kekayaan, pajak produksi batubara, dan pajak karbon.
Sehingga, dalam menyikapi kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, perlu dipertimbangkan dengan matang dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keselarasan kebijakan pajak dengan upaya pemulihan ekonomi menjadi krusial demi menjaga stabilitas ekonomi nasional dan meningkatkan daya beli serta keberlangsungan perekonomian secara keseluruhan.