Dalam buku “De Beste Plek ter Wereld” yang diterjemahkan menjadi “Tempat Terbaik di Dunia” (2018) karya Roanne Van Voorst, seorang antropolog Belanda mencermati budaya “bertukar kenikmatan” yang lazim di masyarakat Indonesia. Melalui penelitiannya di Bantaran Kali Jakarta, ia mengungkap pola bertukar kenikmatan di kalangan orang pinggiran serta menyoroti kondisi pelayanan publik yang kurang memadai dan politik yang tidak pro pada kelompok marginal.
Namun, di tengah keterbatasan dan sulitnya kehidupan di daerah kumuh Jakarta, Roanne menemukan semangat pantang menyerah yang menginspirasi dari warga kelas bawah. Hal ini menjadi kontras dengan stigma negatif yang sering melekat pada warga miskin sebagai pemalas dan kriminal. Semangat dan keteguhan hati warga pinggiran Jakarta dipengaruhi oleh budaya “bertukar kenikmatan” yang menjadi modal sosial melalui tradisi gotong royong dan tolong-menolong.
Perjalanan hidup dan karakter orang-orang di pinggiran Jakarta juga mencerminkan keberagaman budaya Indonesia, dengan mayoritas pendatang dari desa-desa di Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan. Mereka membawa tradisi saling berbagi dari kampung halaman sebagai bagian dari siklus “ambil dan beri” yang diyakini sebagai cara hidup. Budaya pertukaran kenikmatan ini juga terlihat dalam lingkaran elit politik dan ekonomi yang bermula dari praktik kolusi dan gratifikasi.
Pola pertukaran ini menjadi dasar dari demokrasi Indonesia yang mengedepankan praktik patron-klien dalam relasi sosial. Menurut James Scott, patronase adalah pertukaran tatap muka antara yang lebih tinggi dan yang lebih rendah kedudukannya, di mana pihak yang lebih tinggi memberikan bantuan material atau ekonomi, sedangkan yang lebih rendah memberikan bantuan berupa jasa. Relasi ini seringkali melibatkan pertukaran sumber daya dengan menunjukkan ketimpangan antara elit dan orang-orang yang berada di bawahnya.
Namun, praktik politik uang yang semakin meluas menandakan eksploitasi dari prinsip bertukar kenikmatan. Hal ini memunculkan dilema antara kepatuhan kultural sebagai klien dan hak untuk menentukan pilihan politik secara independen. Politik uang mencerminkan pandangan bahwa kekuasaan adalah jalan utama dalam politik, yang terutama tercermin dalam pemilihan umum di mana pemilih menilai kemampuan kandidat dalam memberikan imbalan.
Meskipun praktik “bertukar kenikmatan” merupakan bagian dari budaya Indonesia, namun di konteks politik, hal ini menjadi rentan untuk dieksploitasi dengan berbagai modifikasi. Dalam situasi ekonomi yang sulit, orang-orang mencari sumber daya untuk bertahan hidup, yang seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik. Pertukaran kenikmatan terjadi di semua lapisan masyarakat, namun di bawah bayang-bayang demokrasi liberal, praktik ini seringkali dimanfaatkan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan yang pada akhirnya dapat berdampak negatif bagi masyarakat luas.