Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melarang penayangan iklan susu formula bayi melalui media massa, media elektronik, media luar ruang, hingga media sosial. Apa alasannya?
Melalui Pasal 33 Huruf (e) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, Jokowi tegas melarang seluruh produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu (ASI) lainnya dan susu formula lanjutan untuk menayangkan iklan melalui media apapun.
“Produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif,” tulis Pasal 33 PP tersebut, dikutip Selasa (13/8/2024).
“[Dilarang melakukan] Pengiklanan susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dan susu formula lanjutan yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, media luar ruang, dan media sosial; dan/atau promosi secara tidak langsung atau promosi,” lanjut Pasal 33 Huruf (e).
Tidak hanya mengiklankan, pemerintah juga turut melarang pemberian contoh produk susu formula bayi secara gratis; penawaran kerja sama atau bentuk apapun dengan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), tenaga medis, tenaga kesehatan, kader kesehatan, ibu hamil, hingga ibu yang baru melahirkan; penjualan secara langsung ke rumah; pemberian potongan harga alias diskon; memanfaatkan tenaga medis, tenaga kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, hingga influencer untuk pemberian informasi; hingga promosi tidak langsung.
Aturan ini pun menuai pro dan kontra dari banyak lapisan masyarakat. Sebagian menilai bahwa aturan ini mempersulit para ibu yang memiliki masalah khusus terkait ASI dan mau tidak mau mengandalkan susu formula.
Lantas, apa alasan pemerintah melarang produsen dan distributor mengiklankan susu formula di Indonesia?
Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), Indah Febrianti mengungkapkan bahwa aturan terkait susu formula bayi dan produk pengganti ASI bukan tanpa alasan. Aturan itu diteken oleh Jokowi untuk mendukung program pemberian ASI eksklusif bagi bayi.
“Kebijakan larangan iklan susu formula untuk mendukung program ASI eksklusif yang juga disesuaikan dengan rekomendasi Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA),” kata Indah melalui keterangan tertulis.
Seiring dengan pernyataan Indah, Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, dr. Lovely Daisy menegaskan bahwa perlindungan, promosi, dan dukungan terhadap pemberian ASI penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk memastikan kesehatan dan kelangsungan hidup anak.
Pengadopsian Kode Internasional Pemasaran Produk Pengganti ASI oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1981 merupakan langkah penting dalam melindungi orang tua dan pengasuh dari salah satu hambatan utama dalam keberhasilan menyusui, yaitu praktik promosi produk pengganti ASI oleh industri makanan bayi.
“Dalam beberapa laporan pelanggaran kode etik pemasaran susu formula, masih terjadi penggunaan label yang tidak tepat, promosi di fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang mempromosikan, serta promosi silang antar-produk,” jelas dr. Daisy melalui keterangan yang sama.
“Oleh sebab itu, perlu penguatan pemantauan dan penegakan sanksi,” tambahnya.
dr. Daisy menjelaskan bahwa pemberian ASI eksklusif sejak anak lahir hingga berusia enam bulan, kemudian dilanjutkan sampai anak berusia bulan tahun disertai dengan disertai pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) mampu bermanfaat secara jangka panjang bagi kesehatan anak.
“Maka dari itu itu, aturan dan perlindungan dari promosi susu formula dalam segala bentuknya menjadi penting. Tujuannya, menjamin keberlangsungan pemberian ASI dan pemberian MPASI yang tepat,” kata dr. Daisy.
Lebih lanjut, dr. Daisy, panduan “Ending the Inappropriate Promotion of Foods for Infants and Young Children” yang diterbitkan WHO pada 2017 lalu mengungkapkan bahwa praktik menyusui yang direkomendasikan dapat dirusak atau diganggu oleh promosi yang tidak tepat melalui berbagai cara.
Gangguan tersebut termasuk promosi produk sebagai produk yang cocok untuk bayi di bawah usia enam bulan, setara atau lebih unggul dari ASI, atau sebagai pengganti ASI, atau dengan menggunakan merek/label/logo setara atau lebih baik dari ASI, atau sebagai pengganti ASI, atau dengan menggunakan merek/label/logo yang sama/mirip dengan yang digunakan untuk produk pengganti ASI.
“Panduan WHO tersebut juga menyoroti masalah pelabelan produk makanan untuk bayi dan anak kecil yang seringkali tidak memuat peringatan yang diperlukan seperti usia penggunaan yang tepat, ukuran porsi, atau frekuensi,” kata dr. Daisy.
“Ada pula bukti-bukti yang menunjukkan pesan yang tidak tepat dan menyesatkan serta pelabelan oleh produsen, di antaranya klaim kesehatan dan saran untuk penggunaan produk sebelum usia enam bulan,” tegasnya.
(rns/rns)